Mempertanyakan Pembiayaan Edukasi: Solusi atau Jebakan Utang?

Mempertanyakan pembiayaan pendidikan menjadi isu hangat, terutama setelah beberapa perguruan tinggi di Indonesia mulai menjalin kemitraan dengan platform pinjaman online untuk pembayaran biaya kuliah. Kolaborasi semacam ini memicu perdebatan sengit mengenai inklusivitas pendidikan dan potensi dampak psikologis yang mungkin dialami oleh mahasiswa. Di satu sisi, pembiayaan ini bisa menjadi jembatan bagi mereka yang kesulitan finansial untuk mengakses pendidikan tinggi. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran besar bahwa skema pinjaman ini justru menjebak mahasiswa dalam lilitan utang dengan bunga yang cukup tinggi, memperparah beban yang seharusnya bisa diringankan oleh negara atau institusi pendidikan.

Fenomena mempertanyakan pembiayaan pendidikan ini menjadi lebih kompleks mengingat karakteristik pinjaman yang ditawarkan. Umumnya, pinjaman dana pendidikan di Indonesia bersifat tanpa agunan dengan tenor pengembalian yang relatif singkat, biasanya hingga 24 bulan, dan seringkali membutuhkan penjamin. Bandingkan dengan model pinjaman di Amerika Serikat, di mana pembayaran umumnya baru dimulai setelah mahasiswa lulus dan mendapatkan pekerjaan. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran regulasi dalam kerja sama antara institusi pendidikan dan platform pinjaman, serta Danacita (salah satu platform yang disorot) telah mematuhi aturan termasuk terkait suku bunga, tetap saja ada desakan untuk tinjauan lebih lanjut.

Kritisnya, mempertanyakan pembiayaan pendidikan juga berkaitan dengan tingkat suku bunga yang diterapkan. Meskipun diklaim sesuai regulasi, suku bunga pinjaman online seringkali terasa memberatkan bagi mahasiswa dan keluarga. Hal ini berpotensi meningkatkan risiko kredit macet dan memunculkan masalah finansial di kemudian hari. Para ahli keuangan, seperti yang diungkapkan dalam sebuah diskusi panel di Forum Ekonomi Nasional pada 18 April 2025 lalu, menyarankan bahwa utang, termasuk pinjaman pendidikan, seharusnya digunakan untuk tujuan produktif yang dapat menghasilkan pengembalian lebih besar daripada bunga yang dibayarkan.

Untuk mengatasi permasalahan ini, institusi pendidikan disarankan untuk mencari alternatif pembiayaan lain yang lebih pro-mahasiswa, seperti beasiswa penuh atau parsial, program kerja paruh waktu di kampus, atau skema cicilan langsung dengan bunga 0%. Pemerintah melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga didorong untuk menyediakan opsi pendanaan yang lebih terjangkau. Selain itu, OJK diharapkan dapat meningkatkan literasi keuangan masyarakat, meninjau kembali batas atas suku bunga pinjaman online, dan memperketat pengawasan terhadap platform P2P lending.

Pada akhirnya, mempertanyakan pembiayaan pendidikan ini adalah panggilan bagi semua pihak—pemerintah, institusi pendidikan, dan penyedia layanan keuangan—untuk berkolaborasi menciptakan sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Tujuannya adalah memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, tanpa harus terbebani oleh jerat utang yang berpotensi menghambat masa depan mereka.