Periode kolonialisme Belanda di Indonesia meninggalkan jejak yang dalam di berbagai sektor, termasuk pendidikan. Di bawah bayang-bayang kekuasaan asing, Potret Pendidikan di Nusantara menjadi sebuah paradoks: di satu sisi ada unsur penindasan melalui sistem yang diskriminatif, namun di sisi lain terdapat cikal bakal pencerahan yang membuka jalan bagi kemajuan di masa depan. Pendidikan, yang sebelumnya bersifat tradisional dan berbasis agama, mulai mengalami pergeseran dengan masuknya model pendidikan Barat yang dibawa oleh pemerintah kolonial.
Awalnya, pendidikan formal ala Barat tidak menjadi prioritas utama bagi Belanda. Namun, seiring berjalannya waktu dan munculnya kritik dari kalangan liberal di Belanda, terutama dengan diterapkannya Politik Etis pada awal abad ke-20, pendidikan mulai mendapat perhatian. Kebijakan ini, yang didengungkan sejak tahun 1901, bertujuan untuk “membalas budi” atas keuntungan yang telah diperoleh dari Hindia Belanda. Sekolah-sekolah didirikan, namun dengan tujuan dan sasaran yang sangat terbatas. Sebagai contoh, laporan dari Inspektorat Pendidikan Hindia Belanda pada 15 Mei 1910 menyebutkan bahwa mayoritas sekolah yang didirikan hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan elit pribumi, serta anak-anak Eropa. Ini menunjukkan bahwa Potret Pendidikan kala itu masih sangat elitis.
Sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda cenderung berorientasi pada kebutuhan administratif dan ekonomi kolonial. Kurikulum yang diajarkan lebih mengarah pada pembentukan pegawai negeri sipil tingkat rendah, juru tulis, atau tenaga teknis yang terampil namun dengan upah minim. Para siswa diajarkan membaca, menulis, dan berhitung, serta bahasa Belanda sebagai lingua franca administrasi. Hal ini terlihat jelas dalam pendirian sekolah-sekolah seperti HIS (Hollandsch-Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan AMS (Algemene Middelbare School). Meskipun demikian, keberadaan sekolah-sekolah ini secara tidak langsung membuka akses bagi sebagian kecil pribumi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan Barat, yang kemudian menjadi bekal penting dalam perjuangan kemerdekaan.
Pendidikan yang terbatas ini seringkali diiringi dengan segregasi. Anak-anak pribumi ditempatkan di sekolah yang berbeda dengan anak-anak Eropa, dengan kualitas fasilitas dan pengajar yang tidak setara. Diskriminasi ini mencerminkan struktur sosial hirarkis yang dibangun oleh kolonialisme. Namun, di tengah keterbatasan dan penindasan ini, muncul pula inisiatif-inisiatif dari para tokoh pergerakan nasional yang menyadari pentingnya pendidikan sebagai alat perjuangan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah nasional yang berorientasi pada nilai-nilai kebangsaan, seperti Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 Juli 1922 di Yogyakarta. Ini adalah langkah penting dalam membentuk Potret Pendidikan yang lebih inklusif dan berpihak pada rakyat.
Pada akhirnya, Potret Pendidikan di bawah bayang-bayang kolonialisme Belanda adalah cerminan dari kompleksitas sejarah. Meskipun dibangun dengan tujuan yang kadang menindas, sistem ini secara tidak langsung juga menabur benih-benih pencerahan dan kesadaran. Generasi terdidik yang lahir dari sistem ini, baik dari sekolah kolonial maupun sekolah-sekolah nasional, kemudian menjadi motor penggerak perjuangan kemerdekaan, membuktikan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan.